Jumat, 04 Januari 2013

Cerita 1


                                                                 Aku Tunggu di Surga


Baru aku keluar dari kawasan pesantren Dar-Al-Karomah. Perasaan khawatir menyerang semua saraf-sarafku. Baru tadi Kiai memerintahku supaya keluar pesantren menyusul Nink Diva yang kabur dari dalem, aku tak tau karna apa Nink Diva pergi, yang pasti kiai dan bu’nyai sekarang sangat khawatir, mengingat dialah putri satu-satunya yang mereka miliki. Mudah-mudahan ini bukan sebab kejadian kemarin.
Sebenarnya aku malu menceritakan ini. Aku yang sekarang dalam masa berkhidmat kepada kiai, memaksaku harus mengenal keperibadian Nink Diva. Setiap hari tugasku yang keluar masuk dalem memenuhi apa-apa yang kiai perintah, itu tak terlepas dari kebersamaanku bersama Nink Diva, saat tak ada kesibukan dalem.
Aku teringat ketika Nink Diva baru memasuki masa pubernya, dia sering bertanya-tanya tentang cinta. Kini Nink Diva sudah remaja, dia sudah bisa mengambil keputusan sendiri untuk dirinya. Lambat laun perasaanku berubah ketika aku harus berhadapan dengan Nink Diva. Aku tau apa yang sedang terjadi padaku, aku tau kalo aku jatuh cinta pada Nink Diva, tapi apa ini perbuatan yang pantas di lakukan seorang santri yang mencintai putri kiainya sendiri, ketika dia diangkat menjadi khadamnya. Mulai sejak itu setiap aku bertugas di dalem, aku selalu menjaga jarak dengan Nink Diva setiap aku tak sengaja bertemu, aku selalu menghindar. Nink Diva sekarang bukan anak kecil lagi yang perlu di temani setiap saat, tapi semakin aku menghindar semakin Nink Diva mencariku, entah apa yang ia perlukan dariku.
Suatu hari, ketika aku dapat tugas menyapu dalem, tiba-tiba dari arah belakang Nink Diva memanggilku. “wahyu”. Aku kaget mendengar suara lembut itu, sekarang aku tak punya alasan untuk menghindar. “Enggeh Nink”. Aku jawab sekenanya. “yu aku pengen ngomong sesuatu” “ngomong aja Nink sepertinya penting banget” kucoba cairkan suasana. “kamu kok sekarang jarang nemenin aku” “hah… bukanya Nink sendiri yang jarang manggil aku” kutata sikap seperti biasanya, aku tak ingin Nink Diva tau atas kecanggunganku. Sebenaranya sekarang aku gugup menghadapinya. Bukankah orang yang benar-benar cinta itu adalah orang yang ketika di sebut nama kekasihnyan tubuhnya akan begetar, bayangkan sekarang yang tampil di hadapanku bukan hanya namanya saja, tapi orangnya, betapa menggigilnya tubuh ini “yu… biasanya kamu tanpa aku panggil sudah ngerti, dulukan aku pernah ngomong, kalo kamu gak sibuk, temenin aku” “memang kemarin-kemarin aku lagi sibuk Nink ” bohong…aku lihat, kamu sering ada di kamarmu, kenapa sih yu..kamu kok ngindarin aku?” aku lihat Nink Diva semakin serius “Nink maaf sebelumnya bukanya aku tidak mau nemaenin, tapi…” “tapi apa..” belum sempat aku lanjutkan perkataanku Nink Diva memotongnya “tapi… Nink Diva kan tau, kalo sekarang Nink Diva tu dah remaja dah besar, lebih baiknya Nink Diva cari temen dari santri putri aja” “jadi kamu udah gak mau nemenin aku yu?” “bukan begitu Nink” “yu kamu tau.. kamu itu tempat curhatku yang aku percaya, tak ada selain kamu, entah apa yang membuat aku percaya padamu, yu aku ingin tanya, boleh nggak wanita ngungkapin cinta duluan” aku bingung kenapa Nink diva bertanya seperti itu, tapi dari pada nggak jawab aku jawab sebisanya “ya menurut aku boleh-boleh aja Nink” “menurut kamu boleh nggak putri kiai jatuh cinta?” “kenapa tidak…putri kiai kan juga manusia…iiih.. Nink falling in love ya” biar nggak terlalu tegang aku coba goda Nink Diva. “terus kalo aku jatuh cinta padamu boleh nggak yu…?” Duaaarr…hatiku setengah meledak, aku tak menyangka Nink Diva berkata seperti itu, dia lebih berani dariku, hatiku berdetak tak teratur, aku bingung mau jawab apa, sebab ini hal yang selalu aku harapkan, tapi untuk saat ini tak aku inginkan “Nink udah deh jangan bercanda” “yu…aku serius” Nink diva tampak berharap, sepertinya dia bener serius “Nink…inilah alasanku mengapa selama ini aku jarang nemenin Nink Diva, aku takut diantara kita timbul fitnah. Nink tau. Nink sekarang udah besar. Nink udah bisa mikirin diri Nink sendiri. Nink harus bersikap dewasa. Demi kesucian pesantren, lupakan cinta itu Nink. Aku hanya seorang santri yang menjadi pelayan kiai. Kiai yang aku harus hormati dan patuhi termasuk Nink sebagai putrinya” suaraku memecah keheningan. Nink Diva diam, dia hanya melihatku. Aku lihat sepertinya tersirat rasa kekecewaan di wajahnya, setelah itu Nink Diva pergi. Sempat aku lihat Nink Diva menyeka air matanya
Menit mengganti detik, derap jam pun menyapu menit, kini waktu terus berlalu. Tiga hari setelah kejadian itu, aku belum melihat Nink Diva. Hatiku gundah, apa memang Nink Diva mengerti dengan maksud perkataanku, atau Nink Diva kecewa padaku sehingga dia tak mau bertemu dengaku.
Aku mulai khawatir, aku takut Nink Diva menutup diri sebab kejadian kemarin. Akhirnya aku beranikan diri bertanya kepada Bu’ nyai “nyai Nink Diva kok gak pernah kelihatan ya..?” “mbo Nink Diva iku le’ wes pore’ yo ngono iku gak metu2 teko kamare”  dalam bahasa jawa Bu’nyai menjawab pertanyanku. Sepertinya Nink Diva memang di rundung masalah. Sumpah saat ini aku rindu ingin bertemu Nink Diva. Aku kangen senyumnya, aku kangen canda tawanya.
Hari demi hari terus terlalui, sikap Nink Diva tak berubah dia tetap mengurung diri. Hingga suatu hari saat aku baru selesai sholat isa’, kiai dan Bu Nyai tiba-tiba memanggilku, beliau memberitahuku, kalo Nink Diva keluar dari dalem, dia keluar tanpa sepengetahuan Kiai dan Bu’nyai. “wahyu kamu tau kenapa Nink Diva pergi ?” Bu’ Nyai membuka pembicaraan ketika Kiai baru keluar dari ruang tengah lalu duduk di sofa di sebelah Bu’ Nyai. “tidak tahu Nyai” Aku menjawabnya “sebernanya apa yang terjadi dengan kamu dan Nink Diva” Kiai angkat bicara seakan beliau tau tentang masalahku dengan Nink Diva. Aku pun hanya menggelengkan kepala tak mampu menjawab pertanyaan Kiai. “wahyu semenjak kamu jarang nemenin Nink Diva, dia jadi suka menyendiri hingga puncaknya, sekarang dia keluar dari dalem, apa ini ada hubunganya dengan kamu yu” Bu’Nyai menghantamku dengan beberapa pertanyaan. Aku terpojok, akhirnya aku ceritakan semua yang terjadi. Mulai dari Nink Diva yang mengatakan cintanya itu  dan alasanku kenapa aku  tak mau menemani Nink Diva. “aku sudah mengira semua itu. Nink Diva sejak kecil mengagumi mu yu” Bu’ Nyai memberi komentar. “apa kau mencintainya Wahyu ?” tiba-tiba pertanyaan kiai menyergapku. Aku hanya tergagap tak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku tak bisa mengatakan cinta ini di depan kiai dan Bu’ Nyai. Mungkin ini yang di katakan cinta sesungguhnya, sebab aku tak bisa mengatakan cinta ini kepada orang lain. “Wahyu aku maklumi kalo kalian sudah di landa cinta toh itu sudah tabi’at manusia al-qur’an pun sudah menjelaskan hal itu.” Kiai memberi keterangan, aku hanya manggut-manggut mendengarkanya dan merasa dapat dukungan. Kiai pun terus melanjutkan pembicaraanya. “lagi pula Nink Diva sekarang sudah umur tujuh belas tahun. Kemerin aja ada putra kiai yang mau mengkhitbahnya” aku kuaget mendengar itu, dunia seakan berhenti di hadpanku, “tapi aku tak mau terburu-buru menerimanya”, aku juga perlu berunding dengan Nink Diva” kiai melanjutkan, dunia seakan berputar lagi mendengarnya hehe. “tapi jika kamu mau mengkhitbahnya sekarang, saya pribadi dan Bu’ Nyai sangat setuju wahyu” duaaar “sa sa sa say saya Kiai?” refleks kapalaku terangkat dan memastikan bahwa pernyataan itu untukku, aku gugup, sadarkah kah aku, apa aku bermimpi, aku coba cubit tanganku ternyata sakit, ini memang bukan mimpi. “Iya kamu wahyu” Bu’ Nyai menjawab “apa yang akan kamu berikan sebagai maharnya wahyu” kiai terus mengejarku dengan pertanyaan “tak ada kiai Cuma sisa uang saku seratus ribu kiai” aku tak tau apa yang terjadi, mulutku seakan bicara sendiri mendukungku. “ya udah sekarang langsung akad, sini mendekatlah padaku wahyu” rembulan seakan mengintip apa yang terjadi malam itu. Suara jangkrik seakan terus menyorakkan yel-yelnya, tahu kalo aku telah menang, setelah melafadkan kalimat istighfar dan dua syahadat kiai mulai membaca sighot akad “ya wahyu bin hasan zawwajtuka wa ankahtuka binti ainun nadivah bimahri alf mi’ah rubiah indunisiah” aku pun menjawab “qobiltu tazwijaha wa nikahaha bil mahril madzkur” “gimana sah?” kiai bertanya kepada dua santri putra yang menjadi saksi, bersama dengan Bu’ Nyai mereka serempak menjawab sah “alhamdulillah” setelah membaca hamdalah, kiai langsung membaca do’a
 Setelah itu Aku pun di perintah oleh kiai untuk menyusul Nink Diva. Menurut informasi yang ada, dari alumni yang menghubungi Kiai, katanya Nink Diva ada di alun2 kota bangil.
Setelah dapat perintah, aku langsung meluncur ke tujuan, untuk memudahkan perjalananku, kiai menyuruhku memakai sepeda motor dalem, yang biasa aku kendarai,
Dari sinilah, ketika di perjalanan, aku coba terka apa penyebab Nink Diva berbuat seperti itu. Mungkinkah karna kejadian itu, atau mungkin Nink Diva kecewa padaku, oh,,,semua pertanyaan mengiringi kekhawatiranku, aku takut memang benar-benar karna diriku.
Baru aku masuk kota bangil. Terasa malam ini cuaca sangat cerah, tapi desiran-desiran angin mengiringi sendunya perjalananku menyusul cinta suciku. Aku telusuri jalan seberang alun-alun, aku edarkan pandanganku, tapi sosok yang aku cari belum terlihat. Aku putuskan untuk memarkir motor di halaman masjid, dan aku coba saja mencari Nink Diva ke dalam alun-alun dengan berjalan kaki. Itung-itung sambil nostalgia mengingat kenangan-kenangan indah bersama teman-teman. Dulu aku sering kesini, setiap malming tak pernah aku lewatkan, tamapknya sudut barat alun-alun agak di perlebar, ini merubah suasana alun-alun yang tak seperti dulu lagi.
Aku langkahkan kaki lebih masuk ke dalam, aku lirik jam tanganku, ternyata sudah jam sembilan lebih tiga puluh menit. Aura desiran angin malam menembus bajuku, hingga permukaan kulitku dapat merasakan sayup-sayup kedinginanya, ternyata bukan aku saja yang merasakan pekatnya malam ini. Tampak disana, pohon beringin yang berada di tengah alun-alun, membiarkan dedaunanya bermain-main dengan terpaan angin malam, seolah-seolah dia  memanggilku memberitahu akan keberadaan orang yang aku cari, cintaku, Nink Diva. Tapi masak iya aku kesini karna cinta, ikhlaskah diriku. Aku sadar niatku salah, seharusnya niatku kesini karna untuk patuh pada perintah kiai atau mertua hehe. Aku coba mantapkan dalam hati menata niat yang sejak tadi sudah amburadul.
Aku biarkan kaki ini melangkah kemana ia mau. Entah apa yang membuat batin ini ingin sejenak singgah di pohon beringing tengah alun-alun itu, aku ingin duduk di pagarnya sekedar melihat bintang gemintang yang seakan terus mengawasiku.
Jarak lima meter dari pohon beringin. Aku hentikan langkahku, aku terpaku, melihat wanita yang duduk di pagar beringin itu. Sepertinya dia santri, pakeanya sopan. Tampak jelas atribut santri yang dia kenakan, tapi sayang jilbabnya ia biarkan mengalung di lehernya, membiarkan rambutnya tergerai, mengikuti alunan sahdu angin malam. Aku amati ia dari samping, tak sebegitu jelas raut wajahnya, tapi dia terlihat sangat anggun, hingga tanpa aku sadari tatapanya beralih kepadaku. “wahyu !?” aku terkesiap mendengar suara itu, suara lembut itu sepertinya sudah tidak asing lagi. Aku amati lekat-lekat wajahnya. “loh…Nink Diva !!” sadar yang berdiri itu aku. Nink Diva refleks membenarkan letak jilbabnya yang tadi terbuka. Aku sempat tertawa kecil, baru kali ini aku pergoki Nink Diva gak pakek jilbab..”wihc cantiknya”.
Aku hampiri dia, aku lihat Nink Dva memalingkan muka dariku, muingkin dia malu. “Nink keluar kok gak pamit ke kiai dan bu’nyai, mereka khawatir lo…!!” aku bukak pembicaraan dengan menata sikap seenjoy mungkin di depan Nink diva. “yu kenapa kamu jemput aku, kamu sendirikan yang ngomong, kalo aku udah besar, aku udah gak butuh bantuan orang lain” aku tau kemana arah maksud perkataan Nink Diva “Nink Diva masih marah ya soal kemarin itu, maaf Nink ?” “jangan ungkit-ungkit masalah itu lagi, aku benci sama kamu yu..!” Nink Diva beranjak dari duduknya, Tanpa di kontak tiba-tiba tanganku meraih tangan Nink Diva untuk menahannya pergi. Masih tak aku lepaskan peganganku, saat aku rasakan beribu-ribu volt setruman hangat menjalar keseluruh tubuhku, aku lihat Nink Diva, kita berdua saling pandang, pipi Nink Diva tampak memerah mungkin ini yang di sebut dengan malu-malu kucing. Nink Diva menarik tanganya dari peganganku “apa sih yu…kayak senetron aja” Nink Diva tak berani melihatku sepertinya dia benar-benar tersipu “ngapunten Nink… gak sengaja “ “tau akh,,,kamu kesini naik apa ?” sikap Nink Diva mulai melunak “naik motor Nink, pulang yuk Nink, udah malem nih” “berdua ?” “lah iya tho Nink, masak sama jin” kita berdua mulai berjalan sejajar menuju tempat parkir. Ingin aku gandeng tangan Nink Diva. tapi isin Aku. “boncengan yu” “yalah ..boncengan Nink” “wah…yu bukan mahromnya hehe aku tertawa kecil dan berkata dalam hati, “Nink seandainya kau sudah tau kalo kita sudah semahrom pasti akan pingsan”…iya juga ya Nink, tapi mau tah Nink Diva pulang jalan kaki” “ya naik angkot yu” “malem-malem gini mana ada angkot” “hah udah gak ada ya,,,!!! Ya udah deh pulang sama kamu yu, mana motornya” “itu” aku tunjuk motor yang berada di halaman masjid, ketika kita sudah berada di seberang jalan “yu aku haus” “mau beli es tah Nink” iya kamu bawa uang “ “ya nih ada, tunggu disini Nink.
Kuberanjak ninggalin Nink Diva, menghampiri pedagang es buah yang tak jauh dari kami, ketika itu, saat aku hampir sampai ke pedagang es buah itu. Tiba-tiba pedagang itu berteriak “awas..!! mbak ada mobil” spontan aku menoleh kearah belakang. Sebuah mobil sedan silver melaju agak kencang, ketika aku mulai sadar yang berdiri di tengah jalan itu Nink Diva. Tanpa pikir panjang, aku berlari menyebrang menyelamatkan Nink Diva. Tak kupedulikan teriakan orang-orang yang mengingatkanku, “Nink Awaasss” aku berteriak sambil berlari ke arahnya, Nink Diva menoleh dan cepat berlari ke tepi jalan. Namun “bruuaaks” tubuhku terpental sejauh lima meter. Masih sempat kudengar teriakan histeris dari Nink Diva dan orang-orang yang ada di sekitarku ketika sedan berwarna silver itu menabrak tubuhku. Orang-orang berhamburan ke arahku termasuk Nink Dva. Mereka mengagngkat tubuhku ke sedan yang tadi menabrakku, membawaku ke rumah sakit terdekat. Nink Diva ikut dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia memangkuku, air mata Nink Diva mulai sembab, ingin aku menyeka air matanya, tapi tubuhku tak bisa aku gerakan, mataku pun tak bisa sempurna aku buka. Aku terbaring lemah tak berdaya di pangkuan Nink Diva, “yu…yang kuat kita hampir sampai” terdengar suara Nink Diva tersendat-tersendat.
Nink Diva mulai panik ketika darah segar mulai keluar dari hidung dan mulutku “pak bisa cepat sedikit nggak” dia membentak supir sedan itu, tubuhku mulai menggigil, Nink Diva mulai panik, dia memelukku “ yu..kamu nggak akan ninggalin aku kan ?” “bangun Yu” “kamu sudah janji ke abah untuk membawa aku pulang” “jawab aku yu” “ya Allah,,,, Wahyuuu” Nink Diva semakin erat memelukku, aku dengar tangis kepedihan itu. Air mata Nink Diva mulai membanjiri pipi manisnya. Aku tak kuat menahan sakit ini, aku lihat nink diva. “Nink bagiku di dunia kau sudah halal, tapi jika kita harus berpisah, dan jika cinta ini mendapat ridho-Nya, maka akan aku tunggu kau di surga” Ingin aku katakan kata itu dan ingin aku ceritakan bahwa aku sudah mengkhitbahnya, tapi mulutku sudah tak kuat lagi untuk berkata, Hingga saat itu aku melihat seseorang yang berbaju putih dan memakai surban putih. Tubuhnya tampak bersinar, aku lihat teduh wajahnya, ia amat berwibawa, ia mengulurkan tanganya, aku genggam tangan itu. Saat itu kudengar dia membaca kalimat لا اله إلا الله , aku tirukan kalimat itu, dan ia membawaku terbang. Jauh, jauh meninggalkan NinK Diva yang memelukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar